Dilema UINSA Hijau
Seringkali
isu-isu tentang UINSA sebagai kampus hijau senantiasa didendangkan. Akan
tetapi, hijau yang dimaksud di sini tidak jarang menimbulkan pertanyaan.
Sebagian pernyataan dengan mudahnya menjawab UINSA hijau karena bangunan yang
ada memang dominasi warna hijau. Padahal hijau yang dimaksud ialah bukan hijau
warnanya, melainkan suatu upaya untuk menciptakan kondisi kampus di UINSA
memang lingkungannya tertata asri dan disetiap lokasi bangunannya memang ada
penghijauan dengan adanya pepohonan yang tumbuh disekitarnya.
Pernyataan
tentang UINSA dan upaya penghijauan yang menjadikan lingkungan kampus tertata
asri tentu perlulah lagi dipertanyakan. Bahkan pernyataan ini pernah
dilontarkan kelompok perwakilan UINSA di acara YFCC tahun 2015 di Kaliandra
Resort- Prigen Pasuruan.[1]
Akan tetapi dibandingkan solusi, di tengah-tengah 65 peserta UINSA hanya
dikambinghitamkan masih jauh rencana dengan tujuan. Walaupun terkesan mengejek
tapi ada pesan yang menyadarkan. Sebab, ketika melihat realitas yang ada, UINSA
dengan berbagai programnya ternyata belumlah terkendali dan menyelesaikan
masalah lingkungan. Salah satunya, program penempatan tempat sampah baru yang
diletakkan disetiap gedung agar memudahkan dalam membuang sampah. Walaupun
telah diterapkan, fungsi dari tempat sampah ternyata masihlah belum maksimal. Ketidakmaksimalan
penerapan program penyebaran tempat sampah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain:
1. Penyebaran
tempat sampah yang diletakkan di setiap bangunan berjumlah antara 3-5 buah
kotak tempat sampah.[2]
Jumlah
yang ditetapkan secara garis besar memang sudah memenuhi standar. Tetapi, pada
setiap bangunan seharusnya tidak disamaratakan pembagiannya. Hal ini
dikarenakan padatnya aktivitas mahasiswa tidaklah terjadi di semua bangunan
yang ada di UINSA, melainkan ada lokasi-lokasi tertentu yang menjadi titik
sumber terbanyak dihasilkannya sampah di waktu jam perkuliahan sedang senggang,
biasanya terjadi antara pukul 12 siang
ketika waktu dhuhur hingga waktu ashar. Lokasi yang sering dijadikan tempat
berkumpul dan sering pula sampah yang dihasilkan menumpuk yakni: Area Masjid
‘Ulul Albab , titik rawan terjadi di bagian serambi wilayah wanita di sebelah
Timur hingga ke Utara menuju tempat wudhu, dan di bagian serambi Barat wilayah
pria hingga bagian kolam air. Sampah yang terkumpul, biasanya berasal dari
makanan yang dibawa dan dikonsumsi di area tersebut. Namun, sampah-sampah yang
dibuang terkadang tercecer dikarenakan kapasitas tempat sampah yang disediakan
di area tersebut masih kurang memadai dan tidak sebanding dengan sampah yang
dihasilkan.
2. Model
tempat sampah yang disediakan memiliki dua tempat untuk memisahkan sampah yang
ada, yakni tempat sampah basah dan tempat sampah kering hanya sebagai hiasan
saja.
Model
yang telah disediakan memang bertujuan untuk mempermudah pemilahan sampah. Akan
tetapi, prilaku mahasiswa yang asal buang seringkali bisa kita dapati di dalam
tempat sampah antara sampah dedaunan dan sampah plastik maupun kertas tercampur
menjadi satu. Tindakan ini juga mendapat dukungan dari prilaku para petugas
kebersihan yang ketika mengumpulkan sampah-sampah hanya membawa satu tong
sampah untuk dikumpulkan pada satu titik di bagian ujung UINSA sebelah Selatan
yang berdekatan dengan pusat pembangkit listrik dan Kopertais wilayah IV. Sehingga,
kombinasi antara keacuhan mahasiswa ditambah dengan tindakan para petugas kebersihan
sama-sama butuh pembenahan. Oleh karena itu, bukan hanya dengan melakukan
penempatan tempat sampah saja yang dipilah namun, perlu ada pembenahan dari
sisi para pelakunya.
3. Krisis
Kesadaran Personal
Kasus
banyaknya sampah di rumah ibadah tentu perlulah ada perhatian khusus, bila
diperincikan:
Tidaklah
menyalahkan apabila masjid dipilih sebagai area beribadah sekaligus
menghabiskan waktu senggang. Akan tetapi, apabila prilaku mahasiswa yang hanya
menghabiskan makanan tanpa pergi membawa sampah yang dihasilkannya, tentu hal
ini tidak bisa dibenarkan. Pada dasarnya mahasiswa yang ada di masjid ialah
mahasiswa UINSA, kampus yang berlandaskan ajaran Islam. Namun perilaku
orang-orang yang ada di dalamnya cukup memprihatinkan.
Walaupun
seringkali mahasiswa UINSA banyak berdebat tentang hukum agama Islam dan
berbagai argumen dilontarkan dengan dalil hadis dan rujukan Alquran. Akan
tetapi, perilaku yang diterapkan mahasiswa kebanyakan seringkali
bertolakbelakang degan nilai-nilai keislaman.
Apabila
mengutip perkataan salah seorang perwakilan UNAIR di acara diskusi YFCC,
“seringkali saya bertanya dan mencari kejelasan katanya hadis tentang
kebersihan sebagian dari iman ialah hadis yang lemah, namun dibandingkan dengan
mempercayai lemahnya hadis tersebut dengan tujuan yang terkandung, bukanlah
lebih banyak manfaatnya daripada lemahnya periwayatan hadisnya”.[3]
Jika merenungkan kembali perkataan tersebut memang secara hukum sebagai hadis,
hadis tersebut kurang dapat dipercayai. Akan tetapi, ketika diterapkan dalam
ranah sosial maka hadis tersebut tentunya dapat dijadikan sebagai motivasi
sebab apa yang senantiasa dilakukan akan dilandasi dengan niat beribadah.
Lantas, bagaimana cara mengaplikasikannya, tentunya bukanlah dengan hanya
menempelkan penggalan hadis di papan saja melainkan adanya penghayatan di dalam
tiap diri individu untuk senantiasa sadar dalam berperan di ranah sosial, salah
satunya upaya untuk hidup bersih peduli lingkungan.
Sadar
dalam upaya untuk turut hidup bersih peduli lingkungan, bila mengutip perkataan
bapak Agus, seorang tokoh penggagas pengelolaan lingkungan dari Jambangan,
“sebenarnya memang dalam tahap awal orang-orang diajak untuk menerapkan peduli
tentang lingkungan ialah pilihan paling cepat dan efisien. Akan tetapi,
partisipasi yang ada hanya akan berlaku dalam waktu singkat. Oleh karena itu,
untuk melestarikan dalam jangka panjang perlulah dibentuk agen perubahan yang
senantiasa akan menjadi penyemangat antara program dan pelaku partisipan.
Namun, yang perlu diperhatikan agar agen perubahan bisa satu visi dan misi maka
perlulah diberikan pemahaman dan pelatihan dan berbagai bekal dalam menyokong
kesuksesan program.”[4]
Dari
pendapat tersebut terdapat poin yang dapat diaplikasikan dalam upaya pembenahan
masalah sampah di UINSA ialah:
(1) Harus
adanya partisipasi dari mahasiswa UINSA yang terlibat,
(2) Perlunya ada agen perubahan yang memfokuskan
masalah terkait kasus tersebut,
(3) Ada wadah pembinaan dan pembina yang terlatih
di bidangnya agar tidak hanya menjadi aksi sesaat, melainkan juga bisa menjadi
program yang berkelanjutan.
4. Kurangnya
Inovasi atau Ketidaksepadanan Solusi
Maksud
dari kurangnya inovasi atau dari ketidaksepadanan solusi ialah tentang program
Bank Sampah milik Syariah, memang telah membantu dalam hal pengurangan tumpukan
sampah yang ada. Dalam hal ini, sampah diibaratkan sebagai berkah yang
menghasilkan rupiah. Jenis sampah yang diambil dan dipilah ialah sampah jenis
plastik seperti: botol air mineral, gelas aair mineral, dan sejenisnya. Serta
sampah kertas seperti kardus mie instan, dan sejenisnya.
Akan
tetapi, sampah yang ada tidak hanya dua jenis tersebut, melainkan banyak lagi
jenis yang lainnya. Sampah jenis yang lainnya inilah yang tertumpuk sebegitu
banyaknya dibandingkan sampah jenis plastik yang sudah dipilah. Tumpukan yang
ada walaupun sudah disediakan penanganan dengan solusi Bank Sampah nyatanya
tidak sebanding, antara jenis sampah yang dihasilkan dengan sampah yang dipilah
berat sebelah sehingga jika menargetkan UINSA minim dari sampah maka perlu
penanganan dan alternatif lain.
Bila dimulai dari
mana, tentu dari diri sendiri. Mengajak orang lain, dan bergabung dengan
orang-orang yang memiliki satu visi dan misi. Menjadi agen perubahan, dan mengajak
untuk bisa memilah jenis sampah ketika membuang. Menerapkan, dan mungkin saja
bila berkelanjutan penanganan sampah tidak hanya sampah plastik saja tapi bertambah
dengan penangan sampah basah sepertu dedaunan yang bisa diolah melalui program
pengadaan komposter.
Singkat kata,
manusia tidak bisa hidup tanpa lingkungan namun lingkungan bisa hidup tanpa
manusia. Walaupun lingkungan juga menghasilkan sampah akan tetapi sampah yang
dalam jangka pendek dapat terurai. Berbeda dengan hasil buatan manusia banyak
sampah yang sulit diurai dan butuh jangka panjang dalam proses penguraiannya.
Oleh karena itu, jika manusia yang membuat maka manusia pula yang harus menanganinya.
[1]Maya,
Satria,dkk., “Dalam Temu Membuka Problem Di Masing-Masing Kampus Dan Pencarian
Solusi Bersama”, YFCC (Youth For Climate Camp), (Pasuruan:11-13 September,
2015).
[2] Maya,
“Hasil Survei Tugas Topical Mapping: Sampah, Mata Kuliah PAR 2016”, (UINSA Surabaya, September, 2016).
[3] Diska,
“Dalam Temu Membuka Problem Di Masing-Masing Kampus Dan Pencarian Solusi
Bersama”, YFCC (Youth For Climate Camp), (Pasuruan:11-13 September, 2015).
[4] Agus,
“Penyuluhan PAR 2016”, (Balai RW III Jambangan- Surabaya: 12 Oktober, 2016).
Komentar
Posting Komentar