makalah akhlak tasawuf: pembagian ilmu akhlak



PEMBAGIAN ILMU AKHLAK

Makalah:
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf

 

Oleh Kelompok 4 Kelas B:

1.      Maya Fitriyani                       (E71214040)
2.      Mochammad Umar Ismail   (E71214041)
3.      Muhammad Syafa’atur R.   (E71214042)

Dosen Pengampu :
Ghozi, Lc., M.Fil.I

PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan rahmat dan karunia Allah SWT kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah “Pembagian Ilmu Akhlak” sesuai waktu yang telah ditentukan. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar dan diridhoi-Nya.
Sehubung dengan penyusunan makalah ini, diperuntukkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf Program Studi Filsafat Agama, semester 1 (satu) kelas B yang dibimbing oleh Bapak Ghozi, Lc., M.Fil.I selaku dosen  di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Dalam pembelajaran tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari sempurna,  oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh kami, tentunya untuk kepentingan proses peningkatan belajar kita. Terima kasih.

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………..i
Daftar Isi………………………………………………………………………….ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah…………………………………………………..1
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………1
C.     Tujuan penulisan…………………………………………………………..1

BAB 2 PEMBAHASAN
A.    Perbedaan Akhlak dan Ilmu Akhlak.......................................................... 2
B.     Pembagian Bahasan Ilmu Akhlak...............................................................4
BAB 3 PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................10
B.     Saran..........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Membahas tentang akhlak maka tidak terlepas dari adanya pemahaman kata akhlak itu sendiri. Dari pemahaman kata sebagai awal modal untuk belajar, maka dalam perkembangannya pengertian dari akhlak sebagai ilmu akhlak pasti memiliki perbedaan pemaknaan. Oleh karenanya, sebagai tindak lanjut sebelum mendalami seluk beluk pembahasan di dalamnya, maka modal pemahaman haruslah dimiliki oleh setiap yang ingin dan akan belajar. Jika modal pemahaman telah diketahui, maka unsur – unsur pembagian bahasan yang ada di dalam ilmu akhlak dapat dipaparkan sebagai bahan kelanjutan mempelajari ilmu akhlak.
            Di dalam pembagian bahasan ilmu akhlak, ada beberapa bentuk pendekatan yang dapat digunakan sebagai bahan adanya batasan – batasan yang menjadikan terkotak – kotaknya pemahaman dalam pemaparannya. Oleh karena itu, pembagian ilmu akhlak antara lain dapat digolongkan menjadi; berdasarkan sifatnya dan berdasarkan objek yang dikajinya.

B.     RUMUSAN MASALAH
Untuk meringkas pemaparan dan penyusunan dalam makalah ini maka pembahasan akan dikategorikan diantaranya:
1.      Apa perbedaan antara akhlak dan ilmu akhlak ?
2.      Apa yang termasuk dalam pembagian ilmu akhlak ?

C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan acuan dalam pengulasan diatas maka pembuatan makalah ditujukan sebagai berikut:
1.      Memaparkan arti dan perbedaan dari akhlak dan ilmu akhlak.
2.      Mengetahui berbagai macam pembagian bahasan dalam ilmu akhlak.


BAB II
PEMBAHASAN
A.                Perbedaan Akhlak dan Ilmu Akhlak
Sebagai seorang muslim seharusnya memiliki cita – cita untuk menjadi manusia yang seutuhnya, dalam artian seorang muslim harus memiliki tekat dan berdaya upaya untuk membentuk hidupnya menurut ajaran agama Islam serta menghiasi dirinya dengan kepribadian – kepribadian yang rupawan dan memukau. Oleh karenanya, manusia membutuhkan yang namanya akhlak sebagai dasaran dirinya untuk berbuat. Sedangkan pengertian kata akhlak itu sendiri ialah bentuk jamak dari kata “alkhuluku”, dan kata yang terakhir ini mengandung segi – segi yang sesuai dengan kata “al – khalku” yang bermakna “kejadian”. Kedua kata tersebut berasal dari kata kerja “khalaka” yang mempunyai arti “menjadikan”. Dari kata “khalaka” inilah timbul bermacam – macam kata seperti:
Al – khuluku yang mempunyai makna “budi pekerti”,
Al – khalku mempunyai makna “kejadian”
Al – khalik bermakna “Tuhan Pencipta Alam”
Makhluk mempunyai arti “segala sesuatu yang diciptakan Tuhan”.[1]
            Dari pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kata “al – khuluku” atau kata jamak “akhlak” mengandung arti budi pekerti atau pribadi yang bersifat rohaniah, yakni segala hal yang nampaknya secara kasat mata. Sedangkan kata “al – khalku” mengandung artian tentang kejadian yang bersifat lahiriah, yakni segala hal yang nampak dan nyata dapat dilihat oleh mata. Sementara kata “Al – Khalik” yang berarti Sang Pencipta dan “ Makhluk” yang berarti ciptaan mengandung artian bahwa akhlak berfungsi sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan timbal balik antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya dan hubungan antara ciptaan dengan ciptaan yang lainnya. Sehingga dapat ditarik pemahaman bahwa akhlak secara etimologi ialah; budi pekerti, tingkah laku atau tabiat manusia dan secara terminologi akhlak berarti gambaran jiwa yang direalisasikan sebagai tingkah laku manusia yang didorong oleh keinginan secara sadar untuk berbuat baik tanpa adanya paksaan.
Bila tentang definisi ilmu akhlak, ada beberapa pendapat para ahli yang dapat dijadikan sebagai rujukan antara lain:
1.      Menurut Al Mas’udi dalam kitabnya Tafsirul Khallaqi fi Ilmi al Akhlaq bahwa ilmu akhlak adalah: Kaidah – kaidah yang dipergunakan untuk mengetahui kebaikan hati dan panca indra.
2.      Menurut Al Bustami dalam kitab Taammulat fi Falsafatil Akhlaq, merumuskannya sebagai  berikut: bahwa ilmu akhlak, yaitu ilmu yang membahas mengenai keutamaan dan cara memperolehnya serta menginternalisasikannya ke dalam pribadi dan juga mengenai kenistaan dan cara – cara menghindarinya.
3.      Ahmad Amin dalam kitabnya al – Akhlaq memberikan pengertian sebagai berikut:
Ilmu Akhlak ialah: ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menjelaskan apa yang seharusnya dilaksanakan sebagian orang kepada orang lain, tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan yang seharusnya diperbuat.[2]
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa segala hal yang dibahas di dalam ilmu akhlak ialah mempelajari segala bentuk perbuatan yang dilakukan manusia dan mengajarkan tentang berbagai perbuatan baik yang harus diikuti dan diterapkan serta mengajarkan tentang berbagai perbuatan buruk yang harus dihindari dan ditentang. Sehingga manusia dalam praktek kesehariannya dapat memilah dan membedakan segala bentuk perbuatan yang akan dilakukannya.
            Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang membedakan ialah akhlak adalah bentuk dari perealisasian pemahaman tentang ilmu akhlak. Sedangkan  ilmu akhlak adalah petunjuk tata aturan dalam berakhlak.
B.                 Pembagian Bahasan Ilmu Akhlak
Mengulas tentang akhlak sebagai ilmu maka dalam pembahasannya pun tidak akan terlepas dari adanya batasan – batasan yang menjadikan terkotak – kotaknya pemahaman dalam pemaparannya. Secara garis besar pembagian ilmu akhlak dapat digolongkan berdasarkan sifat dan objeknya.
Akhlak berdasarkan sifatnya maka akhlak terbagi menjadi dua bagian yakni:
1.                  Akhlak mahmudah (akhlak terpuji) atau akhlak karimah (akhlak mulia), Akhlak terpuji merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Arab akhlaq mahmudah. Mahmudah merupakan bentuk maf’ul dari kata hamida yang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut pula dengan akhlaq karimah (akhlak mulia), atau makarim al – akhlaq (akhlak mulia), atau al – akhlaq al – munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya).[3] Sedangkan, menurut Al – Ghazali, akhlak terpuji merupakan sumber ketaatan dan kedekatan kepada Allah SWT. Sehingga mempelajari dan mengamalkannya merupakan kewajiban individual setiap muslim.[4] Dapat disimpulkan akhlak terpuji yakni pembahasan tentang berbagai sifat dan sikap yang bernilai manfaat bagi diri sendiri dan orang lain yang apabila diterapkan akan memberi pengaruh serta nilai positif bagi pelakunya. Beberapa contoh sikap dan sifat yang termasuk didalamnya:
·         Al – Amanah
Amanah (dapat dipercaya) berasal dari kata al – amn (aman), karena bersamanya kita merasa aman dari orang yang mencegah kebenaran.[5] Al Amanah menurut arti bahasa ialah kesetiaan ketulusan hati, kepercayaan atau kejujuran.[6] Bahkan di dalam Al – Qur’an pun juga ditekankan untuk memiliki sifat amanah, antara lain di dalam surat An – nisa’ ayat 58, Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا ﴿٥٨﴾
(58) Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Dapat disimpulkan betapa pentingnya memiliki sifat amanah maka sebagai manusia seharusnya memiliki ambisi untuk menghiasi dirinya sebagai pribadi yang dapat di percaya lagi bertanggungjawab.
·         Ash – Shidqu
Yang dimaksud dengan Ash – Shidqu ialah: memberitahukan sesuatu sesuai dengan fakta (kejadian)nya, atau mengabari lainnya menurut apa yang ia yakini kebenarannya, dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah benar atau jujur.[7] Di dalam hadits yang disampaikan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kebenaran itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seorang yang membiasakan diri berkata benar, hingga tercatat di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan sesungguhnya dusta membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa ke neraka. Sesungguhnya seseorang yang membiasakan dirinya berdusta niscaya tersebut di sisi Allah sebagai tukang dusta. (Riyadlus Shalikhin: 72).[8] Serta menurut Al – Ghazali sendiri, bahwasannya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan haq(benar). Karenanya Allah menuntut kepada manusia agar membangun kehidupan mereka di atas jalan yang benar. Mereka tidak boleh berkata dan berbuat kecuali dengan benar.[9]
·         Al – ‘Adlu
Sifat dan sikap ada dua macam: pertama, adil yang berhubungan dengan perseorangan,[10] dalam artian bertindak dan berprilaku sesuai dengan yang berhak menerima haknya, yakni tidak mengurangi porsi milik orang lain dan tidak berlebih – lebihan dalam mengambil bagian yang menjadi hak diri. Kedua, adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan pemerintahan.[11] Dalam artian seorang hakim dalam menegakkan hukuman haruslah tidak memandang bulu maupun strata sosial serta dalam pemerintahan seorang pemimpin dalam memberi pelayanan kepada rakyatnya haruslah dapat mengusahakan kemakmuran secara merata. Sedangkan prinsip keadilan sendiri telah tercantum di dalam Al – Qur’an surat An – Nahl ayat 90:
۞ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿٩٠﴾
(90) Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
·         Asy – Syaja’ah
Syaja’ah berarti berani, sedang yang dinamakan berani adalah keteguhan hati dalam membela dan mempertahankan yang benar, tidak mundur karena dicela, tidak maju karena dipuji, jika ia salah ia terus terang dan tiada malu mengakui kesalahannya.[12]
·         Tawadlu’
Tawadlu’ yaitu tidak memandang diri sendiri lebih dari orang lainnya, bahkan memandangnya sama – sama, dan tidak menonjolkan diri.[13] Tawadlu’ atau menurut istilah Prof. Dr. Hamka ialah “tahu diri, tidaklah membuat diri menjadi, segan – segan seperti pengantin baru, menyisih – nyisih, hingga timbul rasa takut  bergaul, kaku dan canggung. Orang yang pandai menyesuaikan diri ialah orang yang tahu di mana tempat duduknya, tahu apa yang ada pada dirinya, akan kekurangannya.[14]

2.                  Akhlak madzmumah (akhlak tercela)
Kata madzmumah berasal dari bahasa Arab yang artinya tercela. Akhlak madzmumah artinya akhlak tercela. Akhlak tercela berarti lawan kata dari akhlak terpuji, definisi akhlak tercela sendiri ialah tingkah laku yang tidak ada manfaatnya, menimbulkan kerusakan bagi diri sendiri maupun orang lain, serta membuat aib bagi pelakunya. Sehingga perbuatan yang condong maupun tidak membawa manfaat haruslah dijauhi dan ditinggalkan. Beberapa contoh sifat dan sikap dari akhlak tercela antara lain:
·         Syirik
Secara bahasa syirik memiliki arti “menyamakan dua hal”, secara istilah terdapat dua definisi yakni; definisi umum, yaitu menyamakan sesuatu dengan Allah SWT dalam segala sifat yang hanya dimiliki Allah SWT. Definisi khusus, yaitu menjadikan sekutu selain Allah SWT dan memperlakukannya layaknya Tuhan yang patut disembah dan memohon perlindungan darinya.
·         Hasad
Dalam bahasa Indonesia hasad berarti “dengki”, yaitu perasaan yang timbul di dalam diri dikarenakan melihat sesuatu yang dimiliki orang lain dan tidak dimiliki dirinya lalu menyebarkan berita bahwa apa yang dimiliki orang lain tidaklah diperoleh secara wajar, seperti mencuri atau memakai ilmu hitam. Sehingga orang lain timbullah rasa benci kepada orang yang tengah diceritakannya itu.


·         Gibah (menggunjing orang lain)
Menurut Al – Ghazali bahwa gibah adalah menuturkan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain yang apabila penuturan itu sampai pada yang bersangkutan, ia tidak menyukainya.[15] Begitu besarnya bahaya gibah maka Allah sendiri telah memperingatkan di dalam Al – Qur’an, lebih tepatnya tertera pada surat al – Hujurat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
(12) Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Akhlak berdasarkan objeknya maka akhlak terbagi menjadi dua bagian yakni:
1.                  Akhlak kepada Allah (Habluminallah), yakni akhlak yang membahas tentang apa – apa hal yang membuat diri lebih dekat dan apa – apa hal yang membuat diri semakin jauh dari Allah SWT. Salah satu contohnya:
“Tawakkal”, yakni seorang hamba mengupayahkan segala penyelesaian suatu urusan semaksimal mungkin dan seusainya seorang hamba menyerahkan segala persoalan kepada Allah SWT dan bersandar kepada-Nya.
2.                  Akhlak kepada makhluk (habluminan-Nas),
Manusia hidup tidak sendiri melainkan banyak berbagai aspek yang ikut andil berkecimpung di dalamnya, antara lain:
·         Akhlak terhadap Rasulullah SAW, yakni akhlak yang memaparkan bagaimana bentuk – bentuk prilaku yang wajib diteladani dan segala hal –hal yang memperkuat keyakinan terhadapnya sebagai utusan Allah SWT.
·         Akhlak terhadap keluarga, yakni akhlak yang membahas tentang tata cara berprilaku dan memperlakukan anggota keluarga terutama terhadap orang tua (birrul walidain).
·         Akhlak terhadap diri sendiri, yakni akhlak yang membahas tentang
Tata cara membawa diri sebagai manusia yang memiliki nilai – nilai kebaikan dan terhindar dari berbagai fitnah di dunia. Contohnya: iffah ( memelihara kesucian diri), yaitu memelihara kesucian diri dari segala tuduhan, fitnah dan juga memelihara kehormatan. Dengan penjagaan diri secara ketat dari hal –hal yang dapat menimbulkan tuduhan tidak baik terhadap diri kita, atau dari hal – hal yang dapat menimbulkan fitnah maka diri kita selalu dalam keadaan suci dan kehormatan kita tetap terjamin.[16]
·         Akhlak terhadap orang lain, yakni akhlak yang membahas tentang tata cara bergaul dan memperlakukan serta membawa diri terhadap oarng lain.
·         Akhlak terhadap lingkungan alam, yakni akhlak yang membahas tentang tata cara memperlakukan alam dan menjaga keseimbangannya.



BAB 3
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dengan dijelaskannya pembagian bahasan ilmu akhlak, maka poin – poin yang menjadi bahasan dapat dikembangkan dan dapat dijadikan acuan dalam mengamalkan akhlak yang baik di kehidupan sehari – hari. Dalam pembagian bahasan ilmu akhlak yang begitu meluas, hal tersebut mencerminkan bahwa ilmu akhlak memaparkan segala seluk beluk prilaku yang seharusnya dilakukan dan tidak paatut untuk dilakukan oleh manusia.

B.     Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membuka asumsi baru bagi pembacanya serta bermanfaat sebagai penambahan wawasan. Dimana nantinya pembahasan didalam makalah ini dapat menjadi awal mula adanya rencana tindak lanjut baik dalam diskusi forum maupun pembahasan bersama.


DAFTAR PUSTAKA
Masy’ari, H.Anawar. 1990. Akhlak Al quran, Surabaya: PT Bina Ilmu
Al – Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2004. Melalui Hati Menjumpai Ilahi, Bandung: Hikmah
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia
Mas’ud, H.Ali. 2012. Akhlak Tasawuf, Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya


[1] H.Anawar Masy’ari, Akhlak Al quran (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hal.1.
[2]H. Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012),  hal.5.
[3] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal.87.
[4] Ibid., hal.88
[5] Abu Hamid Muhammad Al – Ghazali, Melalui Hati Menjumpai Ilahi (Bandung: Hikmah, 2004) hal.100
[6] H. Ali Mas’ud, Op.Cit., hal.65
[7]H. Ali Mas’ud, Loc.Cit., hal.67
[8] Ibid., hal.67-68.
[9] H.Ali Mas’ud, Loc.Cit., hal.68.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hal.69.
[13] H.Anawar Masy’ari, Op.Cit., hal.153.
[14] H. Ali Mas’ud, Op.Cit., hal.71
[15] Rosihon Anwar, Op.Cit.,  hal.135.
[16] H.Anawar Masy’ari, Op.Cit., hal.85.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah karakteristik filsafat

Dilema UINSA Hijau